Selasa, 29 November 2011

Pendidikan Akhlak Menurut Ibnu Miskawaih


BAB I
PENDAHULUAN
a.      Latar Belakang
Nama Lengkapnya adalah Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ya’qub Ibn Miskawaih. Ia lahir pada tahun 320 H/932 M di Rayy (Teheran, ibu kota Republik Islam Iran sekarang) dan meninggal di Isfahan pada tanggal 9 Shafar tahun 412 H/16 Februari 1030 M, Ibnu Miskawaih hidup pada masa pemerintahan dinasti Buwaihiyyah (320-450 H/932-1062 M) yang besar pemukanya bermazhab Syi’ah.
Latar belakang pendidikannya tidak diketahui secara rinci, cuma sebagian antara lain terkenal memepelajari sejarah dari Abu Bakar Ahmad Ibn Kamil al-Qadhi, mempelajari filsafat dari Ibn al-Akhmar dan mempelajari kimia dari Abi Thayyib.
Ibnu Miskawaih pada dasarnya adalah ahli sejarah dan moralis. Ia juga seorang penyair. Kesederhanaannya dalam melayani hawa nafsu, ketegaran dalam menundukan diri yang serakah dan kebijakan dalam mengatur dorongan-dorongan yang tak rasional merupakan pokok-pokok petunjuk ini. Beliau sendiri berbicara tentang perubahan moral dalam bukunya Tahdzid al-Akhlak, yang menunjukan bahwa beliau melaksanakan dengan baik apa yang telah ditulisnya tentang etika.
Kontribusi Ibnu Miskawaih yang terbesar dalam kajian filsafat Islam adalah tentang filsafat moral atau akhlak. Keberhasilan Ibnu Miskawaih dalam menyusun filsafat moral, mengantarkan Ibnu Miskawaih pada jajaran filosof muslim ternama, dengan mendapat gelar sebagai Bapak Etika Islam. Pemikiran-pemikiran Ibnu Miskawaih ihwal akhlak atau etika secara gamlang ditulis dalam sebuah karya monumental yaitu kitab Tahdzibul Al-Akhlak wa Tathhir Al-Araq (pendidikan budi dan pembersihan watak).
Dari uraian diatas penulis menganggap perlu adanya suatu pembahasan tentang pemikiran Ibnu Miskawaih tentang pendidikan akhlak. Permasalahan tersebut dapat diuraikan dalam makalah dengan judul:
“PENDIDIKAN AKHLAK MENURUT IBNU MISKAWAIH”
b.      Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, permasalahan yang akan dibahas dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.      Bagaimana struktur eksistensial manusia menurut Ibnu Miskawaih?
2.      Bagaimana pokok keutamaan akhlak menurut Ibnu Miskawaih?
3.      Bagaimana komponen-komponen pendidikan akhlak: tujuan, materi, pendidik dan peserta didik, lingkungan, metode dan evaluasi menurut Ibnu Miskawaih?
c.       Tujuan
Manfaat yang diharapkan dari makalah ini adalah:
1.      Bagi penulis merupakan alat untuk mengembangkan diri sebagai manusia yang berakhlak.
2.      Bagi pembaca dapat dijadikan sebagai pembelajaran yang dapat digunakan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman terhadap pentingnya pendidikan akhlak.









BAB II
PEMBAHASAN
KONSEP DASAR ETIKA
A.    Struktur Eksistensial Manusia
Ibn Miskawaih memandang manusia adalah makhluk yang memiliki keistimewaan karena dalam kenyataannya manusia memiliki daya pikir dan manusia juga sebagai mahkluk yang memiliki macam-macam daya. Ibn Miskawaih menonjolkan kelebihan jiwa manusia atas jiwa binatang dengan adanya kekuatan berfikir yang menjadi sumber tingkah laku, yang selalu mengarah kepada kebaikan. Menurut Ibn Miskawaih dalam diri manusia ada tiga kekuatan yang bertingkat-tingkat dari tingkat yang paling rendah yaitu:
  • Daya bernafsu (an-nafs al-bahimiyyat) sebagai daya terendah.
  • Daya berani (an-nafs as-sabu’iyyat/al-Ghadabiyyah) sebagai daya pertengahan.
  • Daya berpikir (an-nafs an-nathiqat ) sebagai daya tertinggi.
Kekuatan berfikir manusia itu dapat menyebabkan hal positif dan selalu mengarah kepada kebaikan, tetapi tidak dengan kekuatan berpikir binatang. Jiwa manusia memiliki kekuatan yang bertingkat-tingkat:
  • Al-Nafs al-Bahimmiyyah adalah jiwa yang selalu mengarah kepada kejahatan atau keburukan.
  • Al-Nafs al-Sabu’iyyah/al-Ghadabiyyah adalah jiwa yang mengarah kepada keburukan dan sesekali mengarah kepada kebaikan.
  • Al-Nafs al-Nathiqah adalah jiwa yang selalu mengarah kepada kebaikan..
Ketiga daya ini merupakan daya menusia yang asal kejadiannya berbeda. Unsur rohani berupa bernafsu (An-Nafs Al-Bahimmiyyah) dan berani (al-Nafs as-Sabu’iyyah/al-Ghadabiyyah) berasal dari unsur materi sedangkan berpikir (an-Nafs an-Nathiqah) berasal dari Ruh Tuhan karena itu Ibn Miskawaih berpendapat bahwa kedua an-nafs yang berasal dari materi akan hancur bersama hancurnya badan dan an-nafs an-nathiqat tidak akan mengalami kehancuran.
Ibnu Miskawaih mengatakan bahwa hubungan jiwa al-Bahimmiyah/as-syahwiyyah (bernafsu) dan jiwa as-Sabu’iyyah/al-Ghadabiyyah (berani) dengan jasad pada hakikatnya sama dengan hubungan saling mempengaruhi.
Menurut Ibn Miskawaih penciptaan yang tertinggi adalah akal sedangkan yang terendah adalah materi. Akal dan jiwa merupakan sebab adanya alam materi (bumi), sedangkan bumi merupakan sebab adanya tubuh manusia. Pada diri manusia terdapat jiwa berfikir yang hakikatnya adalah akal yang berasal dari pancaran Tuhan. Dalam diri manusia terdapat tiga daya jiwa (al-Nafs al-Bahimiyyah, al-Nafs as-Sabu’iyyah/al-Ghadabiyyah, al-Nafs al-Natiqah). Daya bernafsu dan berani berasal dari unsur materi, sedangkan daya berfikir berasal dari ruh Tuhan yang tidak akan mengalami kehancuran.
Ibn Miskawaih dalam kitab Tahzib al-Akhlaq, menggambarkan bagaimana bahwa jika daya-daya jiwa manusia bekerja secara harmonis dan senantiasa merujuk pada akal dapat melahirkan perbuatan-perbuatan moral yang akan menguntungkan bagi manusia dalam kehidupannya di dunia. Stabilitas fungsi daya-daya jiwa ini pun sangat tergantung pada factor pendidikan yang sedemikian rupa akan membentuk tata hubungan fungsional daya-daya jiwa dalam membuat keputusan-keputusan yang memang diperlukan manusia dalam  merealisasikan nilai-nilai moral dalam kehidupan. Dan oleh karena penjagaan kerja akal agar selalu berjalan sesuai dengan naturalnya merupakan prasyarat bagi perwujudan nilai-nilai moral, maka pembinaannya merupakan suatu kemestian dalam dunia pendidikan.[1]
Manusia menjadi manusia yang sebenarnya jika memiliki jiwa yang cerdas. Dengan jiwa yang cerdas itu, manusia terangkat derajatnya, setingkat malaikat, dan dengan jiwa yang cerdas itu pula manusia dibedakan dari binatang. Manusia yang paling mulia adalah yang paling besar kadar jiwa cerdasnya, dan dalam selalu cenderung mengikuti ajakan jiwa yang cerdas itu. Manusia yang dikuasai hidupnya oleh dua macam jiwa lainnya (kebinatangan dan binatang buas), maka turunlah derajatnya dari derajat kemanusiaan. Mana yang lebih dominan diantara dua macam jiwa yang lain tadi, maka demikianlah kadar turun derajat kemanusiaannya. Manusia harus pandai menentukan pilihan untuk menundukan dirinya dalam derajat mana yang seharusnya.[2]
Sehubungan dengan kualitas dari tingkatan-tingkatan jiwa yang tiga macam tersebut, Ibn Miskawaih mengatakan bahwa jiwa yang rendah atau buruk (al-Nafs al-Bahimiyyah, nafsu kebinatangan) mempunyai sifat-sifat: ujub, sombong, pengolok-olok, penipu dan takabur. Sedangkan jiwa yang cerdas (an-Nafs an-Nathiqah) mempunyai sifat adil, harga diri, berani, pemurah, benar dan cinta.[3]
B.     Pokok Keutamaan Akhlak
Akhlak merupakan permasalahan utama yang selalu menjadi tantangan manusia dalam sepanjang sejarahnya. Sejarah bangsa-bangsa baik yang diabadikan dalam Alqur’an seperti kaum ‘Ad, Samud, Madyan, dan Saba maupun yang terdapat dalam buku-buku sejarah menunjukan bahwa suatu bangsa akan kokoh apabila akhlaknya kokoh, dan sebaliknya apabila suatu bangsa akan runtuh apabila akhlaknya rusak. Agama tidak akan sempurna manfaatnya, kecuali dibarengi dengan akhlak yang mulia.[4]
Pembicaraan mengenai akhlak tidak akan lepas dari hakikat manusia sebagai khalifah dimuka bumi ini. Sebagai khalifah manusia bukan saja diberi kepercayaan untuk menjaga, memelihara dan memakmurkan alam ini tetapi juga dituntut untuk berlaku adil dalam segala urusannya.



Allah SWT berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 30 dan dalam surat Shad ayat 27:
øŒÎ)ur tA$s% š/u Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9 ÎoTÎ) ×@Ïã%y` Îû ÇÚöF{$# ZpxÿÎ=yz ( (#þqä9$s% ã@yèøgrBr& $pkŽÏù `tB ßÅ¡øÿム$pkŽÏù à7Ïÿó¡our uä!$tBÏe$!$# ß`øtwUur ßxÎm7|¡çR x8ÏôJpt¿2 â¨Ïds)çRur y7s9 ( tA$s% þÎoTÎ) ãNn=ôãr& $tB Ÿw tbqßJn=÷ès? ÇÌÉÈ  
Artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
$tBur $uZø)n=yz uä!$yJ¡¡9$# uÚöF{$#ur $tBur $yJåks]÷t/ WxÏÜ»t/ 4 y7Ï9ºsŒ `sß tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. 4 ×@÷ƒuqsù tûïÏ%©#Ïj9 (#rãxÿx. z`ÏB Í$¨Z9$# ÇËÐÈ  
Artinya: “dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya tanpa hikmah. yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, Maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka”.
 Sebagai makhluk, manusia harus berusaha mencapai kedudukannya sebagai hamba yang tunduk patuh terhadap segala perintah dan larangan Allah, Allah berfirman dalam surat Ad-Dzariyyat ayat 56:

$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur žwÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ  
Artinya: “dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”.
Akhlak dalam Islam mempunyai beberapa prinsip utama yang menjadi landasan pemikiran. Pertama, Islam berpihak pada teori tentang etika yang bersifat universal dan fitri. Allah berfirman pada surat Al-Syams ayat 8-10:
$ygyJolù;r'sù $yduqègéú $yg1uqø)s?ur ÇÑÈ   ôs% yxn=øùr& `tB $yg8©.y ÇÒÈ   ôs%ur z>%s{ `tB $yg9¢yŠ ÇÊÉÈ  
Artinya: “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”.
Dalam sebuah hadits Nabi Muhammad SAW, mengajarkan  agar untuk mengetahui baik dan buruknya sebuah perbuatan, kita harus bertanya kepada hati nurani kita. Nabi SAW menyatakan, “perbuatan baik adalah yang membuat hatimu tentram, sedangkan perbuatan buruk adalah yang membuat hatimu gelisah”. Artinya semua manusia pada hakikatnya baik itu muslim atau bukan memiliki pengetahuan fitri tentang baik dan buruk. Kedua, moralitas dalam Islam didasarkan pada keadilan, yakni menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Ketiga, tindakan etis itu sekaligus dipercayai pada puncaknya akan menghasilkan kebahagiaan bagi pelakunya.[5]
Menurut Ibn Miskawaih, untuk menuju pada kesempurnaan diri, manusia harus melaluinya dengan aplikasi akhlak dalam kehidupan sehari-hari. Akhlak adalah suatu sikap mental (halun li al-nafs) yang mengandung daya dorong untuk berbuat tanpa berfikir dan pertimbangan.[6]
Sikap mental ini terbagi dua, ada yang berasal dari watak dan ada juga yang berasal dari kebiasaan dan latihan. Dengan demikian, sangat penting menegakkan akhlak yang benar dan sehat. Sebab dengan landasan yang demikian akan melahirkan perbuatan-perbuatan baik tanpa kesulitan. Berdasarkan ide diatas Ibn Miskawaih secara tidak langsung menolak pendapat sebagian pemikir Yunani yang mengatakan bahwa akhlak yang berasal dari watak tidak mungkin berubah.[7]
Berbicara mengenai pokok keutamaan akhlak yang disajikan oleh Ibn Miskawaih, beliau memberikan beberapa ketentuan yang harus ditempuh, oleh setiap individu demi mencapai kesempurnaan akhlak. Ibn Miskawaih secara umum memberi “pengertian pertengahan/jalan tengah” tersebut antara lain dengan keseimbangan, moderat, harmoni, utama, mulia, atau polisi tengah antara dua ekstrim.
Ibnu Miskawaih menegaskan bahwa kemungkinan perubahan akhlak itu terutama melalui pendidikan. Dengan demikian, dijumpai ditengah masyarakat ada dua orang yang memiliki akhlak yang dekat kepada malaikat dan ada pula yang lebih dekat kepada hewan. Pemikiran ini sejalan dengan ajaran Islam. Alqur’an dan Hadits sendiri menyatakan bahwa diutusnya Nabi Muhamad adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Hal ini terdiri dari salah satu tujuan melakukan ibadah adalah untuk pembentuk watak yang pada gilirannya akan memperbaiki tingkah laku masyarakat dan pribadi muslim. Bahkan, akhlak sering dijadikan ukuran sebagai keberhasilan seseorang dalam mengajarkan ajaran Islam yang dianutnya.
Berbicara mengenai pokok keutamaan akhlak Ibn Miskawaih, beliau memberikan beberapa ketentuan atau jalan yang harus ditempuh oleh setiap individu demi mencapai kesempurnaan akhlak Ibn Miskawaih secara umum memberi “pengertian pertengahan/jalan tengah” tersebut antara lain dengan keseimbangan, moderat, harmoni, utama, mulia, atau posisi tengah antara dua ekstrem. Akan tetapi beliau lebih cenderung berpendapat bahwa keutamaan akhlak secara umum diartikan sebagai posisi tengah antara ekstrem kelebihan dan ekstrem kekuatan masing-masing jiwa manusia, yang mana jiwa ini berasal dari pancaran Tuhan. Dalam hal ini Ibn Miskawaih memberi tekanan yang lebih bagi pribadi masing-masing manusia. Menurut Ibn Miskawaih jiwa manusia ini ada tiga, jiwa al-Nafs al-Bahimiyyah (nafsu), jiwa al-Nafs as-Sabu’iyyah/al-Ghadabiyyah (berani), dan jiwa al-Nafs al-Natiqah (berfikir/rasional). Posisi tengah jiwa al-Bahimiyyah adalah menjaga kesunyian diri, posisi tengah jiwa as-Sabu’iyyah/al-Ghadabiyyah adalah keberanian, dan yang terakhir adalah jiwa al-Natiqah adalah kebijaksanaan. Adapun gabungan dari posisi tengah/keutamaan semua jiwa tersebut adalah keadilan/keseimbangan. Dan alat yang dijadikan ukuran untuk memperoleh sikap pertengahan adalah akal dan syari’at.[8]
Berikut ini rincian pokok keutamaan akhlak menurut Ibn Miskawaih:
1.      Kebijaksanaan
Kebijaksanaan merupakan sebuah keadaan jiwa yang memungkinkan jiwa seseorang mampu membedakan antara yang benar dan yang salah. Dalam semua keadaan Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa kebijaksanaan adalah keutamaan jiwa rasional yang mengetahui segala yang maujud, baik hal-hal yang bersifat ketuhanan maupun hal-hal yang bersifat kemanusiaan. Pengetahuan ini melahirkan pengetahuan rasional yang memberi keputusan antara yang wajib dilaksanakan dengan yang wajib ditinggalkan.[9]
Ibnu Miskawaih juga memberi pengertian bahwa, kebijakan adalah pertengahan antara kelancangan dan kedunguan. Yang dimaksud dengan kelancangan disini adalah penggunaan daya pikir yang tidak tepat. Adapun yang yang dimaksud dengan kedunguan ialah membekukan dan mengesampingkan daya pikir tersebut walau sebetulnya mempunyai kemampuan untuk menggunakannya, bukan pada sisi kualitas daya pikir.[10]
Secara sederhana dapat kita cermati maksud dari kebijaksanaan disini adalah kemampuan dan kemauan seseorang menggunakan pemikirannya sebagai secara benar untuk memperoleh pengetahuan, sehingga mendapatkan pengetahuan yang rasional. Yang kemudian pengetahuan ini diaplikasikan dalam wujud perbuatan berupa keputusan tersebut.[11]


2.      Keberanian
Keberanian merupakan keutamaan dari jiwa yang muncul pada diri manusia pada saat nafsu terbimbing oleh jiwa. Artinya tidak takut terhadap hal-hal yang besar. Sifat seperti ini kedudukannya pertengahan antara pengecut dan nekat. Pengecut adalah takut terhadap sesuatu yang seharusnya tidak perlu ditakuti. Adapun nekat adalah berani terhadap sesuatu dan menafikan sebuah konsekuensi. Gejala terbesar dari keberanian ini berupa tetapnya pikiran ketika berbagai bahaya datang. Kondisi seperti ini akan hadir karena faktor ketenangan dan keteguhan jiwa dalam menghadapi segala hal. Sehingga jikaditinjau dari sifat dasar jiwa, pada dasarnya jiwalah yang mampu membedakan antara manusia dan binatang. Jiwa dalam hal ini memanfaatkan badan untuk menjalin hubungan dengan alam wujud yang lebih spiritual dan tinggi.[12]
Sehingga dapat kita simpulkan bahwa seseorang yang mampu menempatkan keberanian pada posisinya adalah manusia yang bisa memanfaatkan jiwa menurut esensinya.
3.      Menjaga Kesucian Diri
Menjaga kesucian diri merupakan keutamaan jiwa yang akan muncul pada diri manusia apabila nafsunya dikendalikan oleh pikirannya. Sehingga mampu menyesuaikan pilihannya dengan tepat dan tidak dikuasai serta diperbudak oleh nafsunya.[13]
Kesucian diri yang terdapat pada setiap orang akan berbeda-beda tergantung bagaimana seseorang bisa mengatur hati dan tingkah lakunya dalam aplikasi kesehariannya.


4.      Keadilan
Keadilan adalah bagaimana sikap seseorang bisa menempatkan segala sesuatu pada tempat dan porsinya masing-masing. Keadilan yang dimaksud Ibnu Miskawaih dalam hal ini berarti kesempurnaan dari keutamaan akhlak yaitu perpaduan antara kebijaksanaan, keberanian, dan menahan diri, sehingga menghasilkan keseimbangan berupa keadilan. Adapun keadilan yang diupayakan manusia dalam hal ini adalah menjaga keselarasan atau keseimbangan agar tidak saling berselisih dan menindas antara satu dengan yang lainnya. Hal ini berlaku bagi kesehatan jiwa dan tubuh, hal ini bisa tercapai apabila manusia dapat menjaga keseimbangan dalam temperamen yang moderat.
Dari uraian tersebut dapat diperoleh pemahaman bahwa, keadilan yang diupayakan manusia diarahkan kepada dirinya dan orang lain. Sehingga pokok keutamaan akhlak yang dimaksudkan Ibnu Miskawaih adalah terciptanya keharmonisan pribadi dengan lingkungannya. Dapat kita pahami bahwa ahlak merupakan jalan tengah mengajarkan seseorang untuk mengajarkan seseorang untuk mencari jalan keselamatan. Mengingat pentingnya pembinaan akhlak, Ibnu Miskawaih memberikan perhatian yang sangat besar terhadap akhlak manusia. Sehingga untuk membentuk akhlak yang sempurna dan sesuai dengan fitrahnya manusia, ia menempatkan pendidikan akhlak yang dimulai dari masa kanak-kanak. Beliau menyebutkan masa kanak-kanak merupakan mata rantai jiwa hewan dengan jiwa manusia berakal. Pada jiwa anak secara perlahan berakhir dan jiwa manusiwi dengan sendirinya akan muncul sesuai dengan perkembangan kehidupan manusia.
C.    Komponen-komponen Pendidikan Akhlak
1.      Tujuan
Tujuan pendidikan akhlak yang dirumuskan Ibn Miskawaih adalah terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara spontan untuk melahirkan semua perbuatan bernilai baik, sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan yang sempurna (al-sa’adat). Dengan alasan ini, maka Ahmad’Abd Al-Hamid Al-Sya’ir dan Muhammad Yusuf Musa menggolongkan Ibn Miskawaih sebagai filosof yang bermazhab al-sa’adat di bidang akhlak. Al-sa’adat memang merupakan persoalan utama dan mendasar bagi hidup manusia dan sekaligus bagi pendidikan akhlak. Al-sa’adat merupakan konsep komprehesif yang di dalamnya terkandung unsur kebahagiaan (happiness), kemakmuran (prosperity), keberhasilan (success), kesempurnaan (perfection), kesenangan (blessedness), dan kebagusan/kecantikan.
Seperti telah disinggung pada pembahasan sebelumnya, al-sa’adat dalam pengertian di atas, hanya bisa diraih oleh para nabi dan filosof. Ibn Miskawaih juga meyadari bahwa, orang yang mencapai tingkatan ini sangat sedikit. Oleh sebab itu, akhirnya ia perlu menjelaskan adanya perbedaan antara kebaikan (al-khair) dan al-sa’adat. Di samping juga membuat berbagai tingkatan al-sa’adat. Kebaikan bisa bersifat umum, sedangkan al-sa’adat merupakan kebaikan relatif, bergantung orang perorang (al-khair bi al-idafat ila shahibiha). Menurutnya, kebaikan mengandung arti segala sesuatu yang bernilai (al-syai’ al-nafi). Oleh karenanya, kebaikan merupakan tujuan setiap orang.
2.      Materi
Untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan, Ibn Miskawaih menyebutkan beberapa hal yang perlu di pelajari, diajarkan atau di praktikan. Sesuai dengan konsepnya tentang manusia, secara umum Ibn Miskawaih menghendaki agar semua sisi kemanusiaan mendapatkan materi yang memberikan jalan bagi tercapainya tujuan. Materi-materi tersebut oleh Ibn Miskawaih dijadikan pula sebagai bentuk pengabdian terhadap Allah swt. Ibn Miskawaih menyebut tiga hal pokok yang dapat dipahami sebagai materi pendidikan akhlaknya:
a.       Hal-hal yang wajib bagi kebutuhan tubuh.
b.      Hal-hal yang wajib bagi jiwa, dan
c.       Hal-hal yang wajib bagi hubugnannya dengan sesama manusia.
Berbeda dengan Al Ghazali, Ibn Miskawaih tidak membeda-bedakan antara materi dalam ilmu agama dan bukan ilmu agama, dan hukum mempelajarinya.
3.      Pendidik dan Anak Didik    
Menurut Ibn Miskawaih orang tua merupakan pendidik pertama bagi anak-anaknya. Materi utama yang perlu dijadikan acuan pendidikin dari orang tua kepada anaknya adalah syari’at. Ibn Miskawaih berpendapat bahwa, penerimaan secara taklid bagi anak-anak untuk mematuhi syariat tidak menjadi persoalan. Dasar pertimbangannya adalah karena semakin lama anak-anak akan mengetahui penjelasan atau alasannya, dan akhirnya mereka tetap memelihara sehingga dapat mencapai keutamaan.  Guru berfungsi sebagai orang tua atau bapak ruhani, tuan manusiawi atau orang yang dimuliakan, kebaikan yang akan diberikan adalah kebaikan Illahi, karena ia membawa anak didik kepada kearifan, mengisinya dengan kebajikan yang tinggi dan menunjukan kepada mereka kehidupan abadi.
4.      Lingkungan  Pendidikan
Ibn Miskawaih berpendapat bahwa, usaha mencapai al-sa’adat tidak dapat dilakukan sendiri, tetapi harus bersama atas dasar saling tolong-menolong dan saling melengkapi,  kondisi demikian akan tercipta kalau sesama manusia saling mencintai. Setiap pribadi merasa bahwa kesempurnaan sendirinya akan terwujud karena kesempurnaan yang lainnya. Jika tidak demikian, maka al-sa’adat tidak dapat terwujud sebagai makhluk sosial. Ibn Miskawaih berpendapat bahwa selama di alam ini, manusia memerlukan kondisi yang baik di luar dirinya. Ia juga menyatakan bahwa sebaik-baik orang adalah orang yang berbuat baik terhadap keluarganya dan orang-orang yang masih ada kaitan dengannya, mulai dari saudara, anak, kerabat, keturunan, rekanan, tetangga, hingga teman.  Disamping itu, Ibn Miskawaih berpendapat bahwa salah satu tabi’at manusia adalah tabi’at memelihara diri, karena itu manusia selalu berusaha untuk  memperolehnya bersama dengan mahluk sejenisnya. Diantara cara untuk menempuhnya adalah dengan saling bertemu, manfaat dari pertemuan diantaranya adalah akan  memperkuat aqidah yang benar dan kestabilan cinta sesamanya.


5.      Metode
Beberapa metode yang diajukannya untuk mencapai akhlak yang baik adalah pertama, adanya kemauan yang sungguh-sungguh untuk berlatih terus-menerus dan menahan diri (al-‘adat wa al-jihad) untuk memperoleh keutamaan dan kesopanan yang sebenarnya sesuai dengan keutamaan jiwa. Kedua, dengan menjadikan semua pengetahuan dan pengalaman orang lain sebagai cermin bagi dirinya.[14]














BAB III
KESIMPULAN
A.    Struktur Eksistensial Manusia
Menurut Ibn Miskawaih dalam diri manusia ada tiga kekuatan yang bertingkat-tingkat dari tingkat yang paling rendah yaitu:
  • Daya bernafsu (an-nafs al-bahimiyyat) sebagai daya terendah.
  • Daya berani (an-nafs as-sabu’iyyat/al-Ghadabiyyah) sebagai daya pertengahan.
  • Daya berpikir (an-nafs an-nathiqat ) sebagai daya tertinggi.
B.     Pokok Keutamaan Akhlak
1.      Kebijaksanaan
2.      Keberanian
3.      Menjaga Kesucian Diri
4.      Keadilan
C.    Komponen-komponen Pendidikan Akhlak
1.      Tujuan
2.      Materi
3.      Pendidik dan Anak Didik    
4.      Lingkungan Pendidikan
5.      Metode





BAB IV
PENUTUP
Alhamdulillahhirabilaalamin dengan rahmat Allah yang maha kuasa akhirnya makalah ini dapat terselesaikan, pemakalah mohon maaf apabila terdapat kesalahan baik dalam penulisan maupun perkataan, sekiranya dapat dimaklumi karena kami pun dalam tahap pembelajaran dalam pembuatan makalah, kritik dan saran dari saudara yang bersifat membangun sangat kami harapkan agar makalah yang selanjutnya bisa lebih baik dari ini semuanya, terima kasih.














DAFTAR PUSTAKA
-          Ibn Miskawaih, Tahzib al-Akhlaq, ed. Syekh. Hasan Tamir, (Beirut, Mansyurat Dar Maktabat Al-Hayat, 1398H).
-          A. Musthofa, Filsafat Islam, (Bandung, Pustaka Setia, 2009).
-          Abu Bakar Atjeh, Sejarah Filsafat Islam, 1970.
-          Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibn Miskawaih, (Yogyakarta, Belukar, 2004).
-          Haidar Bagir, Buku Saku Filsafat Islam, (Bandung, Mizan, 2005).
-          Muhamad Yusuf Musa, Bain Al-Din wa Al-Falsafah,(Kairo, Dar Al-Maarif, 1971).
-          Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1986).
-          Oliver Leamen, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, ed. Sayyed Hossein Nasr, (Bandung, Mizan, 2003).



[1] Ibn Miskawaih, Tahzib al-Akhlaq, ed. Syekh. Hasan Tamir, (Beirut, Mansyurat Dar Maktabat Al-Hayat, 1398H), hal. 32.
[2] A. Musthofa, Filsafat Islam, (Bandung, Pustaka Setia, 2009) hal. 173-174.
[3] Abu Bakar Atjeh, Sejarah Filsafat Islam, 1970, hal. 150.
[4] Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibn Miskawaih, (Yogyakarta, Belukar, 2004) hal. 130.
[5] Haidar Bagir, Buku Saku Filsafat Islam, (Bandung, Mizan, 2005) hal. 207-210.
[6] Muhamad Yusuf Musa, Bain Al-Din wa Al-Falsafah,(Kairo, Dar Al-Maarif, 1971) hal. 70.
[7] Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1986) hal. 61.
[8] Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibn Miskawaih, (Yogyakarta, Belukar, 2004) hal. 83.
[9] Ibn Miskawaih, Tahzib al-Akhlaq, ed. Syekh. Hasan Tamir, (Beirut, Mansyurat Dar Maktabat Al-Hayat, 1398H), hal. 40.
[10] Ibn Miskawaih, Tahzib al-Akhlaq, ed. Syekh. Hasan Tamir, (Beirut, Mansyurat Dar Maktabat Al-Hayat, 1398H), hal. 46.
[11] Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibn Miskawaih, (Yogyakarta, Belukar, 2004) hal. 99.
[12] Oliver Leamen, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, ed. Sayyed Hossein Nasr, (Bandung, Mizan, 2003), hal. 312.
[13] Ibn Miskawaih, Tahzib al-Akhlaq, ed. Syekh. Hasan Tamir, (Beirut, Mansyurat Dar Maktabat Al-Hayat, 1398H), hal. 40.
[14] Ibn Miskawaih, Tahzib al-Akhlaq, ed. Syekh. Hasan Tamir, (Beirut, Mansyurat Dar Maktabat Al-Hayat, 1398H),

Tidak ada komentar:

Posting Komentar